Sarinah
Jauh sebelum ada tabloid gosip, apalagi acara-acara infotainment, sudah ada pengetahuan publik yang sangat satu dimensi soal dinamika mantan Presiden RI, Bung Karno dengan para perempuan. Siapa pun tahu, sang proklamator itu dikenal sebagai sosok flamboyan yang ‘doyan’ wanita. Melalui beberapa kali pernikahannya, bisa jadi mitos soal kecintaan Bung Karno akan perempuan menjadi semakin terkonfirmasi.
Tapi, rupanya Bung Karno bukan tipikal ‘buaya darat’ yang sekedar mencintai tanpa mampu menghargai peran perempuan. Kemerdekaan Republik Indonesia baru menapaki tahun kedua ketika Sukarno mengguratkan pena menuliskan sebuah buku berjudul Sarinah-Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Meski tidak semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang merupakan pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara yang saat itu masih belia. Soal wanita adalah soal masyarakat! tulis Bung Karno di paragraf awal kata pengantar Sarinah.
Sejak awal, Sukarno rupanya sadar betul betapa fatalnya kedudukan perempuan Indonesia bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran pendamping laki-laki. Ia juga resah karena soal perempuan, saat itu belum pernah dipelajari dengan mendalam oleh pergerakan di Indonesia. Mengingat saat ini kita kadung berpikir urusan perempuan hanya jadi urusan sejumlah LSM atau organisasi dengan ‘judul’ yang dilengkapi kata ‘perempuan’, mungkin pemikiran Bung Karno yang tercakup di dalam Sarinah cukup layak untuk diganjar dengan kata ‘progresif’. Apalagi, tolong diingat, buku ini diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1947.
Post a Comment